Sumber :http://www.e-psikologi.com/
Kategori Individual
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 5/4/2009
Sejak tahun 2004, suasana perpolitikan kita kita memang beda. Dulu, pejabat politik itu bisa dikatakan dipilih dari atas. Rakyat nyaris tak terlibat secara signifikan dalam menentukan wakilnya. Tapi, setelah itu keadaan berbalik. Rakyatlah yang diberi kesempatan memilih sehingga rakyat pun ada yang meng-convert-dirinya menjadi seperti gadis cantik yang diperebutkan para lelaki.
Konsekuensi buruknya, untuk merebut hati rakyat itu butuh usaha keras dengan berbagai cara, termasuk memanfaatkan peristiwa bencana alam, dan butuh kesediaan memberikan apa yang dimiliki untuk mencari perhatian. Selain material, tenaga, dan pikiran, dibutuhkan juga finansial. Malah menurut caleg yang saya tanya, itu masih belum cukup. "Sekarang ini harus ditambah dengan air mata", katanya begitu.
Bagi yang kalah, cara-cara merebut hati rakyat yang demikian itu tak pelak mewariskan efek psikis tersendiri. Ada caleg yang marah sama rakyat. Sudah dikasih tanah untuk jadi jalan umum, tetapi namanya tak jadi pemenang. Tanah itu akhirnya diambil lagi. Ada yang memberi karpet untuk majlis taklim, tetapi namanya tak terpilih, akhirnya karpetnya diambil lagi. Bahkan ada yang bunuh diri karena jumlah suara yang memilihnya meleset secara fantastis.
Menurut berita, jumlah pasien rumah sakit jiwa di Jateng meningkat 100% paska pemilu. Belum diketahu secara valid hubungan korelatif antara kekalahan dalam pemilu dan stress jiwa. Hanya, berdasarkan catatan Pilkada tahun 2008 kemarin, hubungan antara stress jiwa dan kalah sudah menjadi semacam sebab-akibat. Dan hubungan antara amarah tak terkendali dengan kekalahan pun sudah menjadi sebab-akibat juga. Tampaknya, kalimat siap menang tidak siap kalah tepat sekali untuk menggambarkan fenomena ini.
Jagoan & Penyembuh
Efek psikis yang kita terima dari kekalahan pemilu mungkin berbeda karena latar belakang kesejarahan dan mentalitas yang berbeda. Bagi yang punya kesiapan mental bagus atau pura-pura bagus, mungkin efek psikisnya tak seberat yang dialami mereka yang hanya siap menang tapi tak siap kalah. Kesiapan mental menentukan rasa pukulan. Tapi kesiapan mental ada yang tidak riil. Jadi, sebelum sempat kecewa, sudah ada cadangan cara untuk menangkis kekecewaan, entah dengan menyalahkan orang lain, menggugat, merasionalisasikan sendiri, atau larinya ke merokok, makan, bahkan ke religi. Ada pula yang kesehatan fisiknya langsung drop.
Demikian juga dengan keamanan finansial. Bagi yang masih memiliki back-up finansial cukup atau berlebih, kekalahan mungkin tak memberi efek psikis seberat yang dialami mereka yang telah habis-habisan dan masih juga menanggung hutang. Seorang calon bupati ada yang telah habis asetnya dan masih menanggung hutang 9 milyar dan akhirnya stress berat di rumah sakit jiwa.
Posisi tawar (bargain) kita dalam pemilu kemarin juga ikut menentukan besarnya efek psikis dari kekalahan. Seandainya kita termasuk orang yang dicalonkan, yang berarti tak terlalu bernafsu harus menang, mungkin akan beda dengan mereka yang berusaha keras mencalonkan diri sambil setengah memaksa untuk ikut bertanding dengan kesediaan untuk habis-habisan.
Persepsi Terhadap Kegagalan
Persepsi kognitif dalam menafsirkan kekalahan juga ikut memberi perbedaan efek psikis. Orang yang melihat kekalahannya secara rasional, menafsirkan kekalahan sebagai kesementaraan, dan bersyukur masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan, akan merasakan efek psikis yang lebih ringan ketimbang mereka yang melihat kekalahan sebagai kuburan, kehancuran, dan keterhempasan.
Menurut survei, self-esteem (punya perasaan baik terhadap diri berdasarkan alasan positif yang nyata) dan self-efficacy (pengetahuan tentang kemampuan yang memunculkan keyakinan kuat / pede) ternyata punya dukungan yang sangat besar atas kekuatan jiwa setelah mengalami berbagai pukulan buruk, seperti kekalahan ini.
Pengalaman / jam terbang pun ikut memberikan perbedaan efek psikis. Secara umum, para senior yang sudah berkali-kali merasakan kalah-menang dalam pemilu akan lebih leluasa memainkan berbagai mekanisme mental dalam menghadapi kekalahan. Ini mungkin beda dengan para junior yang baru sekali ini ikut bertanding dan kalah.
Terlepas apapun latar belakang kekalahan itu, baiknya kita harus bisa memainkan dua peranan. Pertama, kita harus memainkan peranan seorang jagoan (warrior). Jagoan tak menerima kekalahan dengan hati yang hancur (pecundang), bahkan tak melihat kekalahan sebagai kehancuran dirinya. Kedua, memainkan peranan sebagai penyembuh luka hati (self-healer). Sampai kita tak bisa menjadi penyembuh, maka rumah sakitlah yang akan mengambil peranan itu.
Untuk bisa menjadi penyembuh, nasehat leluhur kita mensyaratkan 5W berikut ini:
* Wenang (W1): menguasai diri supaya jangan larut dan hanyut merasakan kekalahan karena Andalah yang punya otoritas terhadap diri Anda.
* Wening (W2): berusaha memunculkan pikiran dan perasaan positif terhadap kekalahan dan diri sendiri secara jernih
* Waskita (W3): berusaha untuk melawan masuknya pikiran dan perasaan negatif secara sadar agar hidup kita tak makin gelap
* Waspada (W4): berusaha untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang bakal terjadi supaya jangan sampai sudah kalah masih harus tertimpa tangga lagi, baik yang terkait dengan kita langsung atau keluarga
* Wicaksono (W5): berusaha memunculkan pikiran dan tindakan yang bijak, membawa kebaikan dan kemaslahatan untuk kita, keluarga, atau pendukung. Jangan sampai mau tergoda membiayai massa untuk melakukan kekerasan sehingga ada yang kehilangan nyawa. Atau membeli suara massa dan kalau sudah dapat di telantarkan.
"You must become the warrior and the healer all at once."
(ajaran Tao)
Me-monitori-ng Stress
Ada hal lain yang penting kita lakukan saat menikmati kekalahan. Itu adalah memonitoring stress. Stress seperti apa yang perlu diawasi? Kalau mengikuti teorinya, stress itu bisa kita bedakan menjadi tiga. Pertama, stress karena tekanan dari luar (external stimulant), termasuk kalah dalam pemilu, ditagih hutang, atau dimarahi keluarga.
Kedua, stress karena respon kita dalam melihat kekalahan itu yang terlalu subyektif, terlalu personal, atau terlalu negatif. Semakin mampu kita menafsirkan kekalahan politik sebagai hal yang normal-normal aja, maka semakin ringan stress-nya. Tapi jika sampai terbawa mimpi karena terlalu diambil hati, mungkin stressnya akan tinggi.
Ketiga, stress karena beban fisik yang berlebihan saat kampanye. Beban fisik yang berlebihan dapat menimbulkan stress bahkan bisa kesurupan (kehilangan kontrol-diri). Di luar Jawa, ada yang meninggal akibat terlalu capek karena ego ambisinya tetap memaksa untuk kerja siang malam.
Nah, memonitoring stress ini penting terutama saat kita habis menerima pukulan mendadak dalam berbagai hal supaya kita tahu mekanisme yang tepat untuk mengatasinya. Stress karena respon subyektif tak terlalu butuh orang lain untuk ikut menangani. Kita bisa membaca buku atau bertukar pikiran dengan kawan atau meminta nasehat pada guru. Tapi, karena hutang kaos atau kendaraan, butuh duit dan kesepakatan.
Yang paling penting, tujuan memonitor stress ini adalah jangan sampai stress kita berlanjut menjadi depresi. Bagaimana prosesnya dan apa saja gejala yang perlu kita amati, rasa-rasanya ini sudah sering kita bahas di sini. Silahkan itu kita gunakan sebagai referensi untuk memonitor diri. Intinya, stress itu memberikan signal buruk pada fisik, kapasitas intelektual, kapasitas emosional, spiritual, mental dan sosial.
Perlu kita ingat juga bahwa tidak berarti kalau kita stress itu langsung otomatis kita menjadi jelek. Begitu juga kalau kita tidak stress tidak berarti masa depan kita akan lebih baik. Yang menentukan diri kita di hari esok bukan stress yang kita alami hari ini, tetapi apa yang akan kita lakukan terhadap stress itu.
"What is in you is more powerful than what is on you"
(John Maxwell)
Mekanisme Positif & Negatif
Di luar dari apa yang sudah sering kita bahas di sini, secara umum, mekanisme kita dalam menangani stress itu ada yang positif dan ada yang negatif. Yang termasuk mekanisme positif itu antara lain:
* Menghayati keyakinan dan nilai-nilai, entah dari ajaran agama, kultur atau berbagai sumber kearifan lain. Kekalahan yang sudah terjadi termasuk takdir Tuhan yang tak bisa diubah, tetapi nasib kita yang ingin kita ubah menjadi lebih baik, termasuk takdir yang membuka perubahan, makin dekat dengan Tuhan, dst
* Membuka diri terhadap dukungan dari luar, misalnya keluarga, komunitas, sahabat, profesional, dan lain-lain agar kita menemukan perspektif yang lebih sehat.
* Me-restruktur pemikiran, misalnya membuat rencana baru yang lebih bagus, rencana mengantisipasi problem, rencana mensolusi masalah. Semakin terasa kita sudah sanggup mengontrol-diri, akan semakin terasa berbunga-bunga lagi hidup kita.
* Merasionalisasi langkah menuju perubahan atau merealisasikan rencana. Yang paling ideal adalah menemukan jawaban sebanyak mungkin dari pertanyaan tunggal ini: "apa yang bisa kita lakukan hari ini, dengan apa yang ada, dari lokasi kita saat ini, untuk membuat hidup kita lebih baik?"
* Mengisi waktu untuk hal-hal positif, menyenangkan, dan dengan orang-orang positif, misalnya membaca buku, mengikuti forum positif, merayakan kekalahan dengan humor, dan lain-lain.
Intinya, mekanisme positif itu banyak. Cuma, ada yang efeknya hanya pada suasana perasaan dan ada yang sampai bisa mengubah nasib hidup kita. Humor, menonton, jalan-jalan atau semisal biasanya hanya mengubah isi perasaan. Tetapi menjalankan agenda perubahan yang telah kita rumuskan dengan komitmen untuk belajar, selain akan mengubah suasana perasaan, juga akan mengubah hidup kita.
Sedangkan yang termasuk mekanisme negatif itu antara lain:
* Memperpanjang penolakan, tak mau terima kalah, di dalam batin dan di dalam tindakan
* Hanya sibuk merasakan tekanan namun tak mau mengambil tindakan agar tekanan itu hilang, menyesali masa lalu, dan seterusnya.
* Menutup diri, entah karena rasa malu, rasa marah, atau jengkel
* Menjauhkan-diri, menolak konsekuensi keputusan, misalnya lari atau menghilang.
* Mendalami pemikiran yang ekstrim, entah kiri atau kanan, karena marah atau lemah menghadapi kenyataan, misalnya judi, minum, atau dalang kerusuhan atau ikut kegiatan yang mengatasnamakan agama dengan konsekuensi harus lari dari realitas.
Walaupun Kalah Tetapi Harus Jadi Pemenang
Realitas itu ada dua, realitas fisik atau faktual, dan realitas batin, perseptual, atau spiritual. Walaupun secara faktual kita nyata-nyata kalah, tetapi secara spiritual dan perseptual, jangan sampai kita mendefinisikan diri sebagai orang kalah, dalam arti harus menang terhadap diri sendiri. Sebagai buktinya adalah:
* Mampu menerima kejadian yang sudah tak bisa diubah,
* Mampu mengubah masa depan yang masih bisa diubah
* Mampu menghindari tindakan yang pasti akan mendatangkan perubahan buruk.
Semoga bermanfaat.
PENTING!! Mau Uang Non stop Masuk ke rekening Anda. Anda bisa download ebooknya, GRATIS. Pada link dibawah. Panduan Uang NonStop. |
Sabtu, 23 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar